Senin, 27 Agustus 2012

Tahirkanlah Orang Kusta



Tahirkanlah Orang Kusta
Oleh : Pdt. Paulus Budiono
Shalom!
Lukas 7:18-23 bercerita tentang keraguan yang menyelinap masuk ke dalam hati Yohanes Pembaptis, sekalipun dia sudah mendapat kabar dari murid-muridnya tentang segala peristiwa mujizat yang telah diperbuat oleh Yesus. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis menyuruh dua orang dari murid-muridnya untuk pergi bertanya kepada Yesus: ’apakah Yesus adalah Mesias yang mereka nantikan ataukah bukan?’. Jawaban Yesus: "Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku."
(Lukas 7:18-23)
Syukurlah, Yohanes Pembaptis menyuruh dua muridnya untuk mengonfirmasi langsung kepada Yesus, firman Hidup. Tuhan Yesus memberikan jawaban yang sama dengan apa yang disaksikan oleh murid-murid Yohanes Pembaptis sebelumnya. Tuhan Yesus memberikan satu teladan bagi kita yaitu tidak perlu mempromosikan pelayanan kita secara berlebihan atau melakukan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi pandangan seseorang yang mengakibatkan dia harus memilih apakah tetap menjadi ’murid Yohanes’ atau berganti menjadi ’murid Yesus’.
Beberapa waktu yang lalu kita sudah mempelajari bagaimana harus ’mendengar’  dilanjutkan dengan ’mengerti’. Orang yang tidak  dapat mendengar= tuli. Dalam aksara Mandarin, tuli terdiri dari dua huruf yaitu ’naga’ (bagian atas) dan ’telinga’ (bagian bawah). Kalau ’naga’ (suaranya) di atas, maka ’telinga’ kita menjadi tuli. Telinga rohani kita hanya dapat disembuhkan oleh firman Allah dan fungsinya hanya untuk mendengar firman Allah. Salah satu praktik nyata dari bacaan di atas adalah: jika kita mendapat kesempatan untuk menghadiri suatu acara Kebaktian, misalnya KKR, apa yang kita beritakan kepada mereka yang tidak berkesempatan datang ke acara tersebut adalah kuasa pekerjaan Tuhan dan kuasa Firman Tuhan yang telah kita dengar atau saksikan, bukan  tentang kejelekan seseorang atau kehebatan si pengkhotbah atau hal-hal lainnya.
Kali ini kita fokus pada kalimat, ”...orang kusta menjadi tahir...”. Kalimat ini sebenarnya merupakan suatu kesatuan (satu paket) dari kuasa yang Tuhan kerjakan di bumi, yaitu menyembuhkan banyak orang dari segala macam penyakit dan kelemahan tubuh mereka.
Dalam Perjanjian Baru terdapat dua kisah tentang bagaimana Yesus mentahirkan orang-orang kusta, yaitu:
I.     10 orang kusta yang di-tahir-kan (Lukas 17:11-19)
Secara lahiriah, bangsa Yahudi harus mengikuti peraturan Taurat yang tertulis di Imamat 13:45-46 tentang mereka yang sakit kusta. Mereka harus berpakaian compang-camping, rambut tidak boleh disisir, terasing (dikucilkan), dan mulut harus berseru: ”Najis! Najis!” sambil menutup muka. Berkaitan dengan ’najis’ itulah sebabnya orang kusta harus mengalami pentahiran (pembersihan) dan bukan penyembuhan. Selama mereka belum tahir,  tetaplah terjadi gap (jarak, jurang pemisah) dengan mereka yang tidak kusta.
Beberapa contoh kusta lahiriah yang tertulis dalam Perjanjian Lama, a.l.:
a.      Miryam, kakak perempuan Musa (Bilangan 12)
Miryam terkena kusta karena dengan mulutnya dia mencela pernikahan Musa. Sesuai dengan peraturan Taurat, dia diasingkan selama tujuh hari. Setelah mengalami pentahiran, ia diijinkan kembali  melayani pekerjaan Tuhan.
b.      Naaman, seorang panglima raja Aram (2 Raja-raja 5)
Dia adalah bangsa kafir (non Israel – tidak kena wajib) yang terkena kusta (tanpa sebab yang jelas), namun ditahirkan oleh Allah melalui petunjuk Elisa, nabi Allah!
c.      Raja Uzia (2 Tawarikh 26)
Raja Uzia terkena kusta (secara tiba-tiba) karena kesombongannya dan menderita kusta sampai hari kematiannya (tidak ditahirkan). Dia diasingkan dari istananya, dari Rumah Tuhan, dari pekerjaannya, dan dari kekuasaannya. Sungguh sangat menyedihkan!
Sesuai dengan hukum Taurat, sepuluh orang kusta tersebut berdiri agak jauh saat memohon belas kasihan dari Yesus. Tuhan mau menjamah mereka dan mereka tentu sangat rindu untuk dapat berkomunikasi secara normal kembali, yaitu berdekatan dan dalam kondisi tidak najis/kotor lagi. Karena itu, dari jarak jauh Tuhan memerintahkan mereka untuk memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam yang tentunya berada dalam bait Suci (Rumah Allah). Mereka melakukannya dan di tengah jalan mereka menjadi tahir. Sayangnya hanya satu orang (Samaria) yang kembali kepada Yesus dan memuliakan Allah. 
II.  1 orang kusta yang di-tahir-kan (Markus 1:40-45 bnd. Matius 8:1-4)
Dalam kisah ini orang kusta tersebut dengan berani mendekati Yesus, berlutut di hadapan-Nya dan memohon bantuan-Nya dengan berkata: ”Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku." Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan dan mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu sambil berkata: ”Aku mau, jadilah engkau tahir." Orang itu tahir dan disuruh Yesus untuk melanjutkan proses seperti yang tertulis dalam hukum Taurat dan memperingatkan dengan keras supaya dia  tidak bercerita kepada siapapun tentang hal tersebut. Namun orang itu pergi menceritakan pengalamannya kepada banyak orang. 
Dalam ilmu kedokteran saat ini, penyembuhan penyakit kusta sudah dapat diatasi dengan mudah. Para dokter dan ahli kesehatan telah memiliki kemampuan untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Seringkali kita membatasi kuasa Tuhan Yesus secara jasmani saja! Jika kita hanya terpaku dengan penyembuhan jasmani, kita akan menganggap bahwa apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus juga mampu dilakukan oleh manusia (dokter-dokter) saat ini. Akibatnya, kita akan jatuh ke dalam keragu-raguan seperti yang dialami Yohanes Pembaptis, ”Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?" (Lukas 7:20)
Jadi, bila kisah tersebut tercantum dalam Alkitab, Allah tentu mempunyai maksud yang lebih luas bagi umat manusia itulah pentahiran kusta rohani. Dengan kata lain, banyak orang yang menderita kusta rohani dan hanya Yesus, firman Hidup, yang dapat mentahirkan penyakit kusta rohani. Kedua peristiwa tersebut di atas memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dalam proses pentahirannya.

Mari kita merenungkan arti rohani dari dua kisah tersebut melalui poin-poin berikut ini.
1.      Mengaku sedang mengalami kusta rohani
Seseorang yang terkena kusta harus menyerukan kata-kata, ”najis! najis!” dari mulutnya. Kata-kata ini merupakan suatu tanda bagi orang lain di sekitarnya bahwa mereka harus menjaga ’jarak’ dengan si penderita penyakit kusta. Kusta rohani adalah dosa karena mulut mengeluarkan perkataan yang kotor dan najis.

Secara fisik, nabi Yesaya tidak terkena kusta. Namun ketika dia memandang kemuliaan dan kekudusan Allah yang tak tertandingi, dengan spontan dia menyatakan suatu pengakuan: ”Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam”  (Yesaya 6:5).

Ini merupakan suatu teguran bagi kita saat ini untuk memperhatikan bagaimana mutu kata-kata yang keluar dari mulut kita - apakah   suci, memuji kebesaran nama Tuhan atau kata-kata ’kotor’ yang menajiskan kita yang mengucapkan maupun mereka yang mendengarkannya. Dengan tegas Tuhan Yesus mengatakan bahwa apa yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan, bukan yang masuk ke dalam mulut kita. (Matius 15:11) Hendaknya ucapan yang keluar dari mulut kita menghasilkan suatu ’mutu’ persekutuan kita dengan orang-orang sekitar (suami, istri, anak, keluarga, teman kerja, masyarakat, dst.). Dengan tegas firman Tuhan menasihati kita:      ”Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu,
tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, ....”
  (Efesus 4:29; 5:1-4)

Yesaya sadar bahwa kenajisannya dalam bibir – perkataan – membuatnya tidak layak untuk berdiri di hadapan Tuhan. Allah merespons dengan mengirim malaikat-Nya untuk mentahirkan mulut/bibir nabi Yesaya! Puji Tuhan! Maukah bibir/mulut kita ditahirkan oleh Tuhan? Langkah pertama, akui bahwa kita adalah orang yang najis bibir! 
2.      Memiliki kerinduan untuk ditahirkan
Apa yang mendorong Tuhan Yesus mentahirkan penderita penyakit kusta? Saat nabi Yesaya menyadari keadaannya yang kotor dan tidak layak berhadapan dengan Allah Yang Maha Suci, tanpa dimintapun Allah langsung merespons dengan mentahirkan dia!
Haruskah Tuhan memakai suatu ’metode’ atau ’cara’ tertentu untuk melaksanakan kehendak-Nya atau apakah jarak (jauh atau dekat) seseorang memengaruhi kuasa-Nya? Satu  orang yang berpenyakit kusta merasa sangat ’dekat’ dengan Yesus dengan menyembah di  kaki-Nya dan merasakan jamahan tangan-Nya sedangkan sepuluh orang kusta yang lain tidak berani mendekat tetapi berdiri ’jauh-jauh’.
Penderita kusta itu sama-sama berseru kepada Yesus serta merendahkan diri di hadapan-Nya untuk memohon belas kasihan-Nya. Lihatlah, mereka semua tetap ditahirkan oleh Yesus!
Apabila kita berjumpa dengan saudara seiman atau bukan, yang sempat atau sedang memproduksi kata-kata ’kotor’ dari mulutnya, bagaimana respons kita? Apakah kita akan membalas dengan kata-kata ’kotor’ juga? Seharusnya kita berusaha
(-belajar-) untuk menetralkan kata-katanya dan mendoakan dia supaya Tuhan bekerja di hatinya terlebih dahulu!
3.      Harus kembali ke Bait Allah
”... tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka" (Markus 1:44). Ini merupakan perintah Tuhan Yesus, yaitu: demi membuktikan pentahiran dari kusta, mereka diperintahkan untuk diperiksa oleh imam-imam di dalam Bait Suci. Artinya sekarang, untuk membuktikan pentahiran dari kusta (rohani) kita, kita harus rela ’kembali’ beribadah dalam Bait Allah!
Dengan kata lain,  Tuhan ingin agar dalam rumah Allah jangan ada perkataan-perkataan kotor dan najis yang membuat gap komunikasi kita terhadap Allah dan sesama. Rumah Allah merupakan tempat di mana manusia menemukan persekutuan dengan sesamanya (orang beriman) dan mengalami persekutuan dengan Tuhan (melalui Firman yang disampaikan hamba-hamba Tuhan). Mereka yang sudah merasa ’jauh’ dan kurang bersekutu di dalam Rumah Allah maupun dengan sesama anak-anak Tuhan harus mau introspeksi diri, menyadari bahwa (pasti) ada ’kusta rohani’ dan dengan rendah hati berseru mohon ’pentahiran’ dari Tuhan!
Saat di rumah Tuhan, diadakan serangkaian pengorbanan yang menindaklanjuti proses pentahiran tersebut. Adanya korban tersebut terkait dengan Korban Kristus.

4.      Bersyukur dan bersaksi
Poin ini sangat penting karena dari sepuluh orang yang disembuhkan Tuhan Yesus, hanya satu orang yang kembali untuk memuliakan nama Allah sedangkan sembilan orang lainnya tidak dituliskan lebih lanjut apa yang terjadi  dengan mereka. Kemungkinan sembilan orang itu adalah orang yang taat beragama, menjalankan perintah Taurat dan melakukan ritual sesuai agamanya, tetapi sayang, tidak ada ucapan syukur dari mulut mereka.
Markus juga menulis bahwa penderita kusta yang mengalami pentahiran tidak dapat menahan bibir mulutnya. Dia pergi dan menceritakan pentahiran yang dialaminya kepada orang-orang lain. Dari mulut yang dulunya mengeluarkan kata-kata ’najis’ dan ’kotor’ telah diubah menjadi mulut yang senantiasa bersyukur pada Tuhan, suka memuji-muji nama-Nya  dan menceritakan kebesaran nama-Nya! Tidak ada suatu larangan manapun yang mampu membendung kata-kata ucapan syukur dan mengagungkan nama Tuhan, bersaksi tentang kebesaran-Nya yang keluar dari hati yang ditahirkan dari kusta rohani. Haleluyah!!! 
5.      Tugas dan amanat Yesus
Dalam Matius 10:7-8 dituliskan tugas Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya pada waktu itu,  juga tugas bagi seluruh orang yang percaya kepada-Nya, ”... Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan.”
Dalam praktik sehari-hari, kita sering menemukan perintah ini telah dilaksanakan oleh para hamba-hamba Tuhan, Penginjil, namun  ada satu hal yang jarang dilakukan, yaitu: ’...tahirkanlah orang kusta...’
Kita banyak menemukan orang-orang kusta (rohani) di sekitar kita yang butuh pentahiran. Adakah saat ini yang mempraktikkan perintah Tuhan untuk mentahirkan mereka? Apakah kita hanya menyerahkan para penderita penyakit kusta (jasmani) kepada para dokter dan sukarelawan yang memperhatikan mereka? Tentu hal itu dapat dilakukan tetapi untuk pentahiran ’kusta rohani’, hanya kuasa perkataan firman Allah yang dapat mengerjakannya. (baca: Yohanes 17:17 bnd. 15:3).
Kita yang sudah ditahirkan harus mentahirkan orang-orang lain yang masih kusta (mulut bibir masih najis/kotor) dengan cara mengucapkan firman Allah kepada mereka. Bagi mereka yang menderita kusta rohani, agar dapat mengalami pentahiran, mereka harus percaya kepada perkataan firman Allah yang didengarnya dan percaya kepada Alkitab yang ineransi tersebut.
Harus diakui bahwa kita memang banyak salah dalam hal perkataan. Bila terjadi gap komunikasi di antara kita, hal ini merupakan indikasi bahwa salah satunya sedang mengalami kusta rohani.
Marilah kita mewaspadai penyakit kusta rohani yang harus mengalami proses pentahiran oleh Tuhan. Kemudian dari jarak ja-uh atau dekat, kita perlu mendatangi Yesus dengan rendah hati dan memohon belas ka-sihan-Nya kepada kita yang kusta (rohani) ini, Tuhan pasti mentahirkan kita! Setelah itu, lan-jutkan visi-misi Tuhan Yesus untuk mentahirkan manusia lain dari kusta (rohani)!
Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar