Pancasila
Pendahuluan :
Kerangka Teoritis
oleh Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D.
Salah satu cara untuk memahami negara-negara "bukan-barat",
adalah dengan membandingkannya dengan - apa lagi, kalau bukan -'negara-negara
"barat". "Barat" dijadikan tolok ukur.
Cara ini paling sedikit mempunyai dua macam pendekatan. Yang satu, adalah
pendekatan yang "statis". Yang lain, adalah pendekatan yang lebih
"dinamis".
Pada pendekatan yang "statis", negara-negara
"bukan-barat" dipahami sebagai negara-negara yang
"terkebelakang", atau, supaya lebih enak di telinga, sebagai
negara-negara yang "sedang berkembang" - tentu saja, di¬ukur dari
negara-negara "barat" yang "telah berkembang". Atau,
sebagai negara-negara "Dunia Ketiga" ("Kelas Tiga"?) -
dibandingkan dengan mereka yang termasuk negara-negara "Dunia
Pertama".
Vera M. Dean menampilkan pendekatan yang lebih "dinamis".
Negara-¬negara "bukan-barat" dilihatnya sebagai negara-negara yang
sedang dan terus¬ menerus bergerak. Ke mana? Ke arah menjadi semakin sama
dengan "barat". Mereka itu, katanya, sedang berada dalam suatu
peralihan untuk pada suatu ketika menyamai "barat".
Keempat tipe pendekatan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz , pada
hakekatnya juga mencerminkan sikap yang sama.
Kedua pendekatan itu, memang ada benarnya. Besar pula manfaatnya. Ia
menghindarkan kita dari "kabalisme" , yaitu penekanan yang terlampau
berlebihan pada keunikan serta eksklusivitas sesuatu, sehingga cenderung
menjadi esoteris. Tidak!, sebab kemanusiaan itu satu, "maka semua
masya¬rakat manusia pasti dapat diperbandingkan satu sama lain. Tidak ada satu
masyarakat pun di dunia ini, yang begitu mutlak berbeda daripada masya¬rakat
lainnya.
Pendekatan tersebut di atas, jugs bermanfaat. Ia dengan tepat dan dengan
jelas melukiskan aspirasi serta kerinduan semua negara "bukan-barat":
ke¬rinduan mereka untuk menjadi "maju" dan "modern".
Tentang kerinduan ini, siapakah yang dapat menyangkalnya?
Namun demikian, pendekatan semacam ini toh masih jauh dari memadai. Ia
memang menjelaskan perbedaan mencolok antara "barat" dan "bukan
¬barat". Tapi ia tidak menjelaskan apa-apa tentang hakekat negara-negara
"non-barat" yang justru ingin dijelaskannya.
Ia barangkali menolong kita untuk menghindarkan kita dari
"kaba¬lisme". Tapi ia menjerumuskan kita kepada
"subyektivisme": menilai dan mengukur sesuatu dengan kaca mata yang
asing. Seolah-olah yang "bukan¬ barat" itu tidak mempunyai
identitasnya sendiri.
Pendekatan itu juga bisa menyesatkan. Ia mengungkapkan kesenjangan yang ada
antara "barat" dan "bukan-barat", tapi tidak berbicara
apa-apa tentang kenyataan yang tak kalah mencoloknya, yaitu: jurang-jurang yang
jauh lebih dalam yang membedakan antara negara-negara "bukan-barat"
itu sendiri.
Oleh kesadaran ini, maka memang ada pendekatan yang sama sekali berbeda.
Yaitu, pendekatan yang berusaha memahami kekhususan dan ke¬unikan masing-masing
negara "bukan-barat". Masing-masing negara dipahami sendiri-sendiri.
Para orientalis, misalnya, mengambil arah ini. Islam, Budhisme, Hindu¬isme,
Taoisme berusaha dipahami setuntas-tuntasnya sebagai entitas yang berdiri
sendiri.
Di samping itu, juga beberapa sosiolog, ekonom, dan ahli ilmu politik.
Mereka dengan cermat berusaha memahami perkembangan sosial, ekonomi dan politik
dari masing-masing negara.
Sayangnya, keduanya juga belum mampu secara maksimal mengungkap¬kan
realitas serta dinamika yang sebenarnya. Para orientalis cenderung untuk
mengabaikan perubahan-perubahan yang terjadi, kalau tidak malah mengu¬tukinya.
Sedang para ahli modern di bidang ekonomi, sosial dan politik cuma
memperhatikan perubahan-perubahan, tanpa mempedulikan akar-akar budaya yang
ada, dan malah mengecamnya sebagai penghambat kemajuan.
Berhubung dengan kenyataan-kenyataan di atas itulah, di dalam buku ini saya
mempergunakan suatu pendekatan yang lain. Yaitu: pendekatan analisa budaya.
Berbeda dengan pendekatan yang pertama, pendekatan analisa budaya berusaha
untuk memahami sesuatu obyek, tidak dengan melalui kacamata yang asing. Ia
tidak mengamati dari luar, tapi dari dalam. Tidak secara "gebyah
uyah" memahami secara umum saja, tapi menghormati kekhususan dan keunikan
masing-masing.
Namun demfician, berbeda dengan pendekatan yang kedua, pendekatan analisa
budaya berusaha menjelaskan kekhususan dan keunikan masing¬masing itu, di dalam
kerangka kesamaan yang lebih luas dan kategori-kategori yang bersifat umum.
Dengan tepatnya, Geertz mengatakan, bahwa:
memahami kebudayaan suatu masyarakat berarti: mengungkapkan ke¬normalannya
tanpa mengurangi keistimewaannya ..
Apakah "analisa budaya" itu? Analisa.budaya merupakan suatu upaya
untuk masuk ke dalam dunia konseptual kelompok manusia tertentu. Ia berusaha
untuk memahami nilai-nilai, konsep-konsep dan gagasan-gagasan melalui mans dan
dengan apa sekelompok manusia itu hidup, serta me¬mahami baik
pengalaman-pengalamannya sendiri maupun dunia di mana mereka hidup.
Jelaslah, betapa pendekatan ini sesuai dengan pandangan Max Weber. Menurut
Weber, cara yank terbaik untuk memahami suatu masyarakat adalah dengan memahami
tingkah-laku anggota-anggotanya. Dan cara yang terbaik untuk memahami
bagaimana, atau lebih tepat: mengapa mereka ber¬tingkah-laku, adalah dengan
memahami kebudayaan mereka, yaitu "sistim makna" mereka.
"Sistim makna"? Ya, oleh karena menurut Weber, hidup manusia dan
seluruh tindak-tanduknya sesungguhnyalah ditandai oleh suatu upaya pen¬acarian
makna yang terus-menerus. Tindak-tanduk serta tingkah-laku manusia senantiasa
berorientasi kepada "makna", baik disadari maupun tidak. ”Aksi” atau
"tindakan" didefinisikan oleh Weber sendiri, sebagai: "semua
tingkah-laku manusia bila dan sepanjang si pelaku (melakukannya berdasar¬kan)
makna subyektif yang diletakkannya kepada tindakan tersebut”
Dengan manisnya, Talcott Parsons memberikan defmisi sebagai berikut:
Aksi atau tindakan adalah sebuah proses di dalam sistim situasi si pelaku,
yang mempunyai makna motivasional baginya
Sebab kita berbicara mengenai tingkah-laku orang lain, maka tentu saja
analisa budaya tidak dapat tidak selalu merupakan penafsiran. Ya, tetapi ia
merupakan penafsiran tentang bagaimana si pelaku itu sendiri memberi makna
terhadap tindakannya. Ia mencari dan berusaha menjelaskan "logika"
dari tingkah-laku sosial masyarakat tertentu, melalui kebudayaan mereka
sendiri.
Mengapa kebudayaan? Sebab kebudayaan itulah yang memasok si pelaku dengan
motivasi, mendukungnya dengan norma-norma, ideal-ideal, nilai-nilai, dan
sebagainya. Pendek kata, kebudayaan itulah yang memberi makna serta legitimasi
bagi tindakan manusia, baik individual maupun sosial .
Demikianlah, tugas analisa budaya ialah: menganalisa, mensistimatisir, dan
menjabarkan pengamatan serta "penafsiran" dari "dalam" itu
sedemikian rupa, sehingga ia mampu mengungkapkan ke"normal"an logika
tingkah-laku sosial masyarakat tertentu, dengan tanpa mengurangi
ke"istimewaan"nya.
Di dalam buku ini, masyarakat tertentu itu adalah: masyarakat Indo¬nesia.
Tentu saja, Indonesia mempunyai masalah-masalahnya sendiri. Namun demikian,
bersama-sama dengan masyarakat-masyarakat lain, khususnya dengan
masyarakat-masyarakat "bukan barat", is juga menghadapi
masalah-¬masalah pokok yang sama.
Semua masyarakat "Dunia Ketiga", pada pokoknya mempunyai tiga
masalah pokok bersama. Ketiga masalah pokok bersama itu ialah: masalah
integrasi nasional di atas pilah-pilah loyalitas yang bersifat sub-nasional,
misalnya pemilahan-pemilahan rasial, bahasa, etnis, kasta dan/atau agama;
masalah menegakkan dan mempertahankan ketertiban dan kestabilan politik; dan
masalah menciptakan atau menemukan ideologi yang tepat guna yang mampu
mempersatukan seluruh rakyat untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membangun
suatu masyarakat yang maju dan modern. Atau ringkas¬nya, ketiga masalah
itu adalah: masalah nation-building, masalah stabilitas politik, dan masalah
pembangunan ekonomi.
Masalah "nation-building” adalah masalah yang berhubungan dengan
warisan masa lampau, yaitu masalah kemajemukan budaya. Masalah
"sta¬bilitas politik" adalah masalah yang berhubungan dengan realitas
masa kini, yaitu ancaman disintegrasi. Sedang masalah "pembangunan
ekonomi" adalah masalah yang berhubungan dengan harapan masa depan, yaitu
masyarakat yang adil, makmur don modern.
Clifford Geertz memerasnya menjadi dua masalah.pokok,
Rakyat negara-negara baru secara bersama-sama telah didorong oleh dua motif
yang sekalipun berbeda, bahkan seringkali bertentangan, namun saling
tergantung. . . . Yang satu adalah . . upaya mencari identitas, tuntutan
agar identitas tersebut diakui umum sebagai sesuatu yang penting, suatu
penegasan sosial mengenai diri sendiri sebagai "sesuatu (yang tak boleh
dipandang remeh) di dunia ini".
Sedang yang lain lebih praktis: tuntutan untuk kemajuan, untuk standar
hidup yang lebih tinggi, tatanan politik yang lebih efektif, keadilan sosial
yang lebih besar, dan di atas semua itu adalah "memainkan peranan yang
lebih besar dalam gelanggang politik dunia", "mempunyai pengaruh di
antara bangsa-bangsa".
Bagi Indonesia itu berarti: masalah bagaimana mempertahankan iden¬titas
tanpa menghambat kemajuan, dan bagaimana mencapai kemajuan tanpa mengorbankan
identitas. Masalah "identitas" dan "modernitas".
Tapi identitas bukanlah sesuatu yang sekedar untuk dipertahankan.
Sesungguhnyalah, ia masih merupakan sesuatu yang mesti dicari.
Indonesia, memakai istilah Geertz, adalah sebuah "negara baru".
Baik konsep "negara" maupun "bangsa", sebenarnya adalah
fenomen-fenomen yang baru dan asing. Bahkan, tidak kurang dari Soekarno
sendiri, nasionalis besar itu, yang mengakuinya. Pada tahun 1945, is berkata,
Saja berkata dengan penuh hormat kepada kita punja radja-radja dahulu, saja
berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokro¬kusumo, bahwa
Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Prabu Siliwangi di Padjadjaran, saja berkata, bahwa keradjaannja bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa,
saja berkata, bahwa ke¬radjaannja di Banten, meskipun merdeka, bukan satu
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi
jang telah membentuk Keradjaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis jang
merdeka itu bukan nationale staat.
Yang ada ialah negara-negara. "Berapa jumlah negara-negara yang pernah
ada di Indonesia," tubs Geertz, "tidak dapat dicatat, tetapi bahwa
mereka mencapai jumlah ratusan sudahlah pasti, malah mungkin ribuan”
Tentu saja Soekarno, dan banyak ahli serta pemimpin Indonesia lainnya,
yakin bahwa di bawah Sriwijaya dan Majapahit, Indonesia adalah sebuah negara
kesatuan. Namun demikian, hal ini masih merupakan perdebatan di kalangan
ahli-ahli sejarah.
Taruh kata bahwa itu benar, yang lebih meragukan adalah apakah Indo¬mesia
di masa-masa itu memang merupakan suatu kesatuan sebagai bangsa.
Lebih amanlah untuk mengatakan, bahwa seperti adanya sekarang, Indonesia
adalah sebuah negara kesatuan yang "baru". Suatu "negara"
baru yang terdiri dari banyak "masyarakat-masyarakat" lama. Di
sinilah, nation¬-building merupakan masalah fundamental.
Sebagai "bangsa" dan "negara" baru, ia membutuhkan
identitas yang baru. Identitas baru yang mesti dilahirkan ini, harus
memperhitungkan dua kenyataan tersebut di atas. Bila ia hanya menekankan
kesatuan, identitas itu akan mengalami kesulitan untuk membuat rakyat mempunyai
komitmen secara emosional. Tapi bila ia terlalu menekankan kemajemukan, ia juga
akan mengalami kesulitan mengajak seluruh rakyat berkiprah bersama bagi tujuan
bersama.
Masalahnya bertambah rumit, oleh karena pada pokoknya ia juga harus mampu
mempersatukan dua unsur yang kontradiktif: unsur-unsur tradisional dan modern.
Yaitu, bahwa identitas itu, pada satu pihak, harus mampu untuk memelihara
warisan-warisan tradisional, dan pada pihak lain, sekaligus harus mampu
mendorong ke arah kemajuan dan modernisasi.
Masalah inilah yang merupakan persoalan pokok yang akan dibahas oleh buku
ini.
Apakah "masyarakat modern" itu perlu dijernihkan terlebih dahulu.
Sebab hanya apabila apa yang dimaksudkan itu telah jelas, maka kita akan dapat
mempertanyakan apakah dan sampai sejauh manakah unsur-unsur tradisional dapat
dipertahankan atau dikorbankan. Ringkasnya, sampai sejauh mana unsur-unsur
modern itu dapat "dipribumikan" dan sampai se¬jauh mana unsur
tradisional dapat "dimodernkan".
Buku ini ingin membahas bagaimana Indonesia mengatasi masalah ganda itu.
Untuk membahas apakah."masyarakat modern" itu, kits harus mulai
dengan membicarakan apakah "masyarakat" itu. Kita tidak akan memasuki
pembicaraan mengenai ini secara terlalu rinci. Cukup kiranya dikemukakan di
sini sebuah definisi kerja yang telah dirumuskan dengan amat tepat oleh
Steeman, sebagai berikut,
sebuah masyarakat dapat dipahami sebagai suatu bentuk penataan hidup yang
sedikit banyak bersifat mandiri.... Ia adalah pola hubung¬an yang tertib
(antara pribadi-pribadi yang hidup bersama-sama), yang mempunyai realitas dan
obyektivitas tertentu yang bersifat mandiri vis a vis anggota-anggota dari
kelompok yang bersangkutan.
Kemandirian yang dimiliki masyarakat terhadap anggota-anggotanya,
dijelaskan oleh Peter Berger demikian,
Tidaklah cukup . . . untuk mengatakan, bahwa masyarakat itu berakar pada
kegiatan manusia. Orang juga harus mengatakan, bahwa masyarakat adalah kegiatan
manusia yang telah mengalami "obyektivasi", artinya: masyarakat
adalah hasil kegiatan manusia yang telah mencapai status sebagai suatu realitas
obyektif. . . . Masyarakat memperhadapkan ma¬nusia dengan kenyataan yang
eksternal dan koersif (= bersifat me¬maksa). . . . Masyarakat dialami sebagai
sesuatu yang diterima di "luar sana", di luar kesadaran subyektif
manusia dan tidak dapat dikendalikan oleh kesadaran subyektif manusia itu.
Tentu saja, adanya masyarakat itu adalah untuk melayani
kebutuhan-¬kebutuhan anggota-anggotanya. Dan bahwa eksistensinya sedikit banyak
tergantung dari anggota-anggotanya. Dari sudut ini, kita dapat mengatakan bahwa
masyarakat adalah "suatu kolektivitas yang relatif bersifat swasem¬bada,
melalui mana anggota-anggotanya dapat memenuhi kebutuhan-ke¬butuhan individual
dan kolektif mereka serta seluruhnya hidup di dalam¬nya” .
Masyarakat tidak dapat ada tanpa orang-prang yang membentuknya. Tapi
sebaliknya juga benar. Orang-orang itu jugs tidak dapat hidup tanpa masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial. Untuk menjadi dirinya sendiri, ia
mem¬butuhkan orang-orang lain. Dimensi sosial ini tidak sekedar merupakan
lampiran tambahan kepada hakekat manusia, sekedar untuk tujuan-tujuan praktis.
Ia merupakan sesuatu yang inheren pads hakekat manusia itu sendiri.
"lndividu-individu itu mempunyai kepentingan terhadap masyarakat dan
keberesannya, dan oleh karena itu, secara pribadi terdorong untuk meng¬ambil
bagian dalam proses sosial.''
Kehidupan bersama yang diberikan oleh masyarakat, dan tujuan bers¬ama yang
dirumuskannya, sesungguhnyalah melampaui kepentingan-ke¬pentingan pnbadi
anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, bahkan
menaklukkannya di bawah kepentingan yang lain dan kepentingan masyarakat
sebagai keseluruhan. Masyarakat tidak hanya membuka kemungkinan bagi
anggota-anggotanya untuk menikmati sumber-sumber orang-orang lain, tetapi juga
membatasi kebebasannya.
Pertanyaan yang dapat kita kemukakan adalah, apakah yang dapat membuat
orang-orang itu secara sukarela dibatasi kebebasannya? Jawaban¬ saya dapat
diungkapkan baik secara negatif maupun positif.
Secara negatif artinya, kerelaan itu didorong oleh karena mereka
mem¬batuhkan masyarakat itu berjalan dengan baik, dan masyarakat tak dapat
berjalan dengan baik tanpa "pengorbanan" itu.
Secara positif artinya, oleh karena "pengorbanan" itu tidak saja
dianggap "perlu", tetapi juga "benar" dan "baik".
Apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerima¬an umum
oleh semua anggota masyarakat terhadap sebuah pola tingkah¬ laku yang normatif
... pola tingkah-laku yang normatif inilah yang harus kita pandang sebagai
unsur paling teras dari fenomena masyarakat sebagai sebuah struktur yang
terintegrasi.
Yang membuat mereka bersedia untuk hidup di bawah pola tingkah¬-laku yang
normatif itu, sekalipun dengan mengorbankan kebebasannya, adalah oleh karena
pola itu mereka yakini sebagai benar, baik dan perlu.
Jadi pendeknya, sebuah masyarakat dapat berfungsi hanya apabila
anggota-anggotanya' bersedia untuk mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola
tingkah-laku yang normatif. Kehidupan bersama hanya mungkin, apabila
anggota-anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti "aturan
per¬mainan" yang telah ditentukan.
Namun integrasi sosial membutuhkan lebih dari sekedar suatu "aturan
permainan". Sebuah masyarakat dapat berfungsi dengan baik, hanya apabila
ada semacam pandangan hidup bersama.
Hal ini telah kits bahas dengan ringkas di depan. Yaitu, bahwa setiap
tindakan itu, sadar maupun tidak, selalu didasari pada kesadaran tentang
"makna", yaitu "apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang
bersifat harus dan yang sekaligus dipandang cukup mulia untuk diperhatikan,
untuk me¬nuntut kesetiaan dan ketaatan kita" . Ini tidak hanya
berlaku bagi tingkah¬laku pribadi tetapi juga bagi tingkah-laku sosial.
Oleh karena itu, masyarakat tidak hanya membutuhkan integrasi-norma (yang
mengatur tingkah-laku) tetapi juga integrasi-nilai, yaitu: konsepsi bersama
tentang "pemahaman mengenai hidup, bagaimana hidup harus dijalani, serta
komitmen dasar yang menuntun di dalam organisasi kehidupan bersama.”
Ini membawa kita kepada pembicaraan tentang pentingnya kesepakatan nilai (=
value consensus) sebagai prasyarat utama bagi integrasi sosial. Ke¬sepakatan
nilai yang dimaksudkan di sini adalah, kesepakatan mengenai asumsi-asumsi yang
paling pokok, mengenai unsur-unsur yang paling men¬dasar, yaitu mengenai
nilai-nilai:
Suatu kesepakatan substansial di dalam masyarakat mengenai apa yang
seharusnya menuntun kehidupan manusia dan sedikit banyak suatu penerimaan yang
bersifat umum terhadap nilai-nilai yang terlembagakan di dalam struktur
masyarakat.
Supaya menjadi lebih jelas, kita akan meninjau masalahnya dari titik tolak
yang berlawanan, yaitu dari perspektif disintegrasi yang selalu poten¬sial di
dalam masyarakat. Di sini, masalah kita dapat dirumuskan sebagai berikut: agar
supaya masyarakat dapat berfungsi dengan baik, ia harus mampu mengatasi
disintegrasi potensial yang ada di dalam dirinya sendiri.
Sesuai dengan skema dasar dari "teori aksi" (yang tidak dapat
dibahas dengan rinci di dalam buku ini), dikatakan bahwa setiap sistim aksi
(tindak¬an) selalu mempunyai empat dimensi, yaitu: kultural, sosial,
psikologis, dan biologis . Analog dengan ini, kita dapat mengatakan bahwa ada
empat potensi bagi disintegrasi sosial, yang tak mungkin kits bahas
keempat-empat¬nya dalam kesempatan ini.
Yang pertama, adalah pada dimensi kultural. Di sini, disintegrasi sosial
berarti tidak ada atau kurangnya kesepakatan mengenai asumsi-asumsi dasar di
dalam masyarakat. Kita juga dapat menamakan fenomena ini sebagai disin¬tegrasi
nilai Nampaknya, banyak perbedaan-perbedaan primordial yang terdapat pada
negara-negara baru mencerminkan dimensi ini . Kurangnya kesepakatan dasar juga
telah mengakibatkan kurangnya kemungkinan untuk membangun suatu entitas politik
yang satu.
Yang kedua, adalah disintegrasi norma, yaitu: bila terdapat
ketidaksepakatan mengenai "aturan permainan" di dalam masyarakat,
atau apabila kelompok-kelompok di dalam masyarakat berpegang kepada
norma/aturan yang berbeda-beda.
'
Yang ketiga, adalah disintegrasi struktur, yang terjadi apabila terjadi
konflik mengenai siapa yang mempunyai kendali terhadap lembaga-lembaga
pemgambilan keputusan di dalam masyarakat.
Yang keempat, adalah masalah yang timbul akibat tidak adanya kesepakatan
mengenai bagaimana sumber-sumber bersama di dalam masyarakat itu
di-alokasi-kan.
Jelaslah, bahwa konflik yang meliputi semua dari keempat dimensi akan
berakibat jauh lebih parah dari pads konflik yang "sebagian". Kita
dapat mengatakan, bahwa konflik pada tingkat kultural akan mem¬punyai dampak
pada tingkat-tingkat lainnya. Konflik yang bersifat primor¬dial,
misalnya, akan meluas ke semua komponen dan tingkat, dan dapat ber¬kembang
ke arah antagonisme menyeluruh di dalam masyarakat . Di dalam keadaan seperti
ini, kesepakatan nilai adalah mustahil. Dan oleh karenanya integrasi sosial
juga amat sulit.
Pada pokoknya, setiap upaya untuk mengendalikan masyarakat dengan
memperbaiki ekonomi dan efisiensi organisasi, tanpa memperhatikan simbol dan
nilai-nilai yang lebih dalam yang mengikat anggota-anggota masyarakat, akan
bersifat tidak kokoh/stabil. Sebab tidak mungkinlah bagi pemerintah manapun
untuk secara permanen memuaskan kebutuh¬an semua anggota masyarakat.
Lembaga-lembaga pemerintahan mem¬butuhkan komitmen dari anggota-anggota
masyarakat yang melampaui hal-hal yang kongkret tersebut, sebagai suatu
reservoir yang dapat di¬manfaatkan apabila mereka menghadapi keadaan yang
gawat. Kurang¬nya komitmen yang didasari oleh nilai-nilai bersama yang bersifat
sentral, pemerintah akan selalu diperhadapkan kepada krisis yang
terus-me¬nerus.
Pada negara-negara barn, termasuk Indonesia, kesepakatan nilai me¬rupakan
masalah yang paling serius, mengingat bahwa negara-negara ini terbentuk dari
kemajemukan masyarakat-masyarakat yang jauh lebih tua usianya.
Kesepakatan nilai menjadi masalah yang rumit, bukan saja oleh karena
warisan-warisan tradisional, melainkan juga oleh karena kerinduan untuk menjadi
modern. Masyarakat modern yang didambakan oleh negara-negara baru telah
memperhadapkan mereka dengan masalah integrasi yang jauh lebih sulit lagi.
Mengapa? Sebab, masyarakat modern, seperti yang dimengerti oleh Talcott
Parsons, mempunyai ciri pokok, yaitu meningkatnya kemampuan adaptif terhadap
lingkungannya . Peningkatan kemampuan adaptif inilah yang memang menjadi daya
tank utama dari modernitas.
Tetapi yang tak pernah boleh kita lupakan adalah, bahwa peningkatan
kemampuan adaptif selalu menuntut peningkatan diferensiasi pada tingkat
struktural. Tapi tidak ada masyarakat yang dapat bertahan hanya dengan
diferensiasi. Masyarakat memerlukan integrasi.
Kompleksitas yang semakin berkembang dari suatu sistim yang meng¬alami
diferensiasi dan peningkatan, dengan sendirinya melahirkan per¬soalan
integrasi. Secara umum, masalah ini hanya dapat diatasi dengan memasukkan
(inclusion) unit-unit, struktur-struktur, dan mekanisme¬-mekanisme yang baru ke
dalam kerangka normatif dari persekutuan masyarakat yang bersangkutan. . . .
Akhirnya, proses yang berjalan itu harus dilengkapi dengan generalisasi nilai,
bila unit yang bermacam-macam di dalam masyarakat mau memperoleh pengabsahan
(legitimasi) dan bentuk orientasi yang memadai bagi pola aksi mereka yang
baru....(Apabila) jaringan situasi yang terstrukturkan secara sosial itu
menjadi lebih rumit, maka pola nilai itu sendiri harus diletakkan pada sebuah
tingkat generalisasi yang lebih tinggi untuk menjamin stabilitas sosial.
Sebuah masyarakat modem tidaklah sekedar merupakan seperangkat
lembaga-lembaga modern. Ia adalah bentuk integrasi yang baru bagi seluruh
masyarakat. Ia merupakan bentuk keterhubungan yang baru antara pusat dan
pinggiran masyarakat. Ia menuntut pencakupan lapisan massa ke dalam masyarakat,
dalam arti bahwa baik kelompok elit maupun massa merasa diri anggota penuh
masyarakat, dengan sedikit banyak harga diri yang sama. Ia mensyaratkan
partisipasi yang lebih besar dari massa di dalam nilai-nilai dari masyarakat,
peranan yang lebih aktif di dalam pengambilan keputusan di dalam masyarakat,
dan penghargaan yang lebih tinggi dari kacamata ke¬lompok elit.
Integrasi sosial semacam yang digambarkan di atas itulah, yang jarang
dimiliki oleh negara-negara baru.
Berbicara mengenai Indonesia, terdapatlah suatu asumsi yang umum, bahwa
baik upaya untuk mencari identitas baru maupun untuk mencapai suatu kesepakatan
nilai, telah tercapai melalui Pancasila.
Buku ini dengan segala kerendahan hati ingin menganalisa dan menilai asumsi
popular tersebut.
Untuk itu, pembahasan akan dilakukan dalam empat tahap. Pada bagian
pertama, akan disajikan semacam pengantar umum mengenai masalah serta kemungkinan
integrasi maupun disintegrasi di dalam masyarakat Indonesia. Masalah integrasi
dan disintegrasi ini akan disorot di dalam terang kesatuan dan kepelbagaian
Indonesia.
Pembahasan dalam bagian pertama ini akan menjadi semacam kerangka bagian
kedua, di mana akan dianalisa kemungkinan untuk mencapai integrasi sosial pads
tingkat nilai-nilai. Di sini, persoalan utamanya ialah: apakah memang benar
atau tidak benar, bahwa di balik kepelbagaian yang luar biasa pads tingkat
sosio-kultural, kita juga dapat melihat adanya orien¬tasi kultural dan
orientasi nilai bersama di antara mayoritas orang Indonesia, yang dapat
dijadikan dasar bagi kesepakatan nilai.
Baik bagian pertama maupun bagian kedua akan menjadi konteks bagi pemahaman
tentang Pancasila. Ini merupakan bagian yang ketiga. Pads bagian ini, kita akan
membahas pemahaman Pancasila di dalam konteks kesatuan dan kepelbagaian
Indonesia yang dibahas dalam bagian pertama. Kita juga akan berusaha
memahami Pancasila di dalam terang orientasi nilai dan budaya Indonesia yang
telah dibahas dalam bagian yang kedua.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kita tidak akan membahas Pancasila sebagai
sebuah gagasan yang terlepas dari konteks tertentu yang telah me¬lahirkannya
dan dari masalah tertentu yang dihadapinya. Kita juga tidak akan membicarakan
Pancasila seperti yang ada dalam pidato-pidato para pemimpin atau karya karya
tulis para sarjana. Artinya, kita tidak akan mem¬bicarakan Pancasila sebagai
"ideal".
Yang akan kita kerjakan adalah, kita akan berusaha memahami dan menjelaskan
Pancasila "seperti apa adanya", yaitu sebagaimana ia telah
benar-benar berfungsi di dalam masyarakat Indonesia.
Akhirnya, pemahaman Pancasila seperti tersebut di atas, yaitu Panca¬sila
"seperti apa adanya", akan kita nilai pada bagian yang keempat. Kita,
misalnya, akan mempertanyakan apakah Pancasila telah menjawab kebutuh¬an
Indonesia akan sebuah identitas yang pada satu pihak berakar pada ke¬budayaan
Indonesia, dan pada pihak lain menyajikan dasar yang kokoh bagi pembangunan
suatu masyarakat modern. Kita juga akan mempersoalkan, apakah Pancasila
merupakan dan mencerminkan perwujudan kesepakatan nilai masyarakat Indonesia.
Dan akhirnya, kita mempermasalahkan apakah Pancasila tidak hanya mengandung
nilai-nilai yang relevan secara kontekstual, tetapi juga sahih secara
universal. Bagian keempat inilah yang akan mem¬beri ciri kepada buku ini, bukan
saja sebagai sesuatu karya yang bersifat deskriptif tetapi jugs suatu
penelaahan etis.
Salah satu cara untuk memahami negara-negara "bukan-barat",
adalah dengan membandingkannya dengan - apa lagi, kalau bukan -'negara-negara
"barat". "Barat" dijadikan tolok ukur.
Cara ini paling sedikit mempunyai dua macam pendekatan. Yang satu, adalah
pendekatan yang "statis". Yang lain, adalah pendekatan yang lebih
"dinamis".
Pada pendekatan yang "statis", negara-negara
"bukan-barat" dipahami sebagai negara-negara yang
"terkebelakang", atau, supaya lebih enak di telinga, sebagai
negara-negara yang "sedang berkembang" - tentu saja, di¬ukur dari
negara-negara "barat" yang "telah berkembang". Atau,
sebagai negara-negara "Dunia Ketiga" ("Kelas Tiga"?) -
dibandingkan dengan mereka yang termasuk negara-negara "Dunia
Pertama".
Vera M. Dean menampilkan pendekatan yang lebih "dinamis".
Negara-¬negara "bukan-barat" dilihatnya sebagai negara-negara yang
sedang dan terus¬ menerus bergerak. Ke mana? Ke arah menjadi semakin sama
dengan "barat". Mereka itu, katanya, sedang berada dalam suatu
peralihan untuk pada suatu ketika menyamai "barat".
Keempat tipe pendekatan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz , pada
hakekatnya juga mencerminkan sikap yang sama.
Kedua pendekatan itu, memang ada benarnya. Besar pula manfaatnya. Ia
menghindarkan kita dari
"kabalisme" , yaitu penekanan yang terlampau berlebihan pada
keunikan serta eksklusivitas sesuatu, sehingga cenderung menjadi esoteris.
Tidak!, sebab kemanusiaan itu satu, "maka semua masya¬rakat manusia pasti
dapat diperbandingkan satu sama lain. Tidak ada satu masyarakat pun di dunia
ini, yang begitu mutlak berbeda daripada masya¬rakat lainnya.
Pendekatan tersebut di atas, jugs bermanfaat. Ia dengan tepat dan dengan
jelas melukiskan aspirasi serta kerinduan semua negara "bukan-barat":
ke¬rinduan mereka untuk menjadi "maju" dan "modern".
Tentang kerinduan ini, siapakah yang dapat menyangkalnya?
Namun demikian, pendekatan semacam ini toh masih jauh dari memadai. Ia
memang menjelaskan perbedaan mencolok antara "barat" dan "bukan
¬barat". Tapi ia tidak menjelaskan apa-apa tentang hakekat negara-negara
"non-barat" yang justru ingin dijelaskannya.
Ia barangkali menolong kita untuk menghindarkan kita dari
"kaba¬lisme". Tapi ia menjerumuskan kita kepada
"subyektivisme": menilai dan mengukur sesuatu dengan kaca mata yang
asing. Seolah-olah yang "bukan¬ barat" itu tidak mempunyai
identitasnya sendiri.
Pendekatan itu juga bisa menyesatkan. Ia mengungkapkan kesenjangan yang ada
antara "barat" dan "bukan-barat", tapi tidak berbicara
apa-apa tentang kenyataan yang tak kalah mencoloknya, yaitu: jurang-jurang yang
jauh lebih dalam yang membedakan antara negara-negara "bukan-barat"
itu sendiri.
Oleh kesadaran ini, maka memang ada pendekatan yang sama sekali berbeda.
Yaitu, pendekatan yang berusaha memahami kekhususan dan ke¬unikan masing-masing
negara "bukan-barat". Masing-masing negara dipahami sendiri-sendiri.
Para orientalis, misalnya, mengambil arah ini. Islam, Budhisme, Hindu¬isme,
Taoisme berusaha dipahami setuntas-tuntasnya sebagai entitas yang berdiri
sendiri.
Di samping itu, juga beberapa sosiolog, ekonom, dan ahli ilmu politik.
Mereka dengan cermat berusaha memahami perkembangan sosial, ekonomi dan politik
dari masing-masing negara.
Sayangnya, keduanya juga belum mampu secara maksimal mengungkap¬kan
realitas serta dinamika yang
sebenarnya. Para orientalis cenderung untuk mengabaikan perubahan-perubahan
yang terjadi, kalau tidak malah mengu¬tukinya. Sedang para ahli modern di
bidang ekonomi, sosial dan politik cuma memperhatikan perubahan-perubahan,
tanpa mempedulikan akar-akar budaya yang ada, dan malah mengecamnya sebagai
penghambat kemajuan.
Berhubung dengan kenyataan-kenyataan di atas itulah, di dalam buku ini saya
mempergunakan suatu pendekatan yang lain. Yaitu: pendekatan analisa budaya.
Berbeda dengan pendekatan yang pertama, pendekatan analisa budaya berusaha
untuk memahami sesuatu obyek, tidak dengan melalui kacamata yang asing. Ia
tidak mengamati dari luar, tapi dari dalam. Tidak secara "gebyah
uyah" memahami secara umum saja, tapi menghormati kekhususan dan keunikan
masing-masing.
Namun demfician, berbeda dengan pendekatan yang kedua, pendekatan analisa budaya
berusaha menjelaskan kekhususan dan keunikan masing¬masing itu, di dalam
kerangka kesamaan yang lebih luas dan kategori-kategori yang bersifat umum.
Dengan tepatnya, Geertz mengatakan, bahwa:
memahami kebudayaan suatu masyarakat berarti: mengungkapkan ke¬normalannya
tanpa mengurangi keistimewaannya ..
Apakah "analisa budaya" itu? Analisa.budaya merupakan suatu upaya
untuk masuk ke dalam dunia konseptual kelompok manusia tertentu. Ia berusaha
untuk memahami nilai-nilai, konsep-konsep dan gagasan-gagasan melalui mans dan
dengan apa sekelompok manusia itu hidup, serta me¬mahami baik
pengalaman-pengalamannya sendiri maupun dunia di mana mereka hidup.
Jelaslah, betapa pendekatan ini sesuai dengan pandangan Max Weber. Menurut
Weber, cara yank terbaik untuk memahami suatu masyarakat adalah dengan memahami
tingkah-laku anggota-anggotanya. Dan cara yang terbaik untuk memahami
bagaimana, atau lebih tepat: mengapa mereka ber¬tingkah-laku, adalah dengan
memahami kebudayaan mereka, yaitu "sistim makna" mereka.
"Sistim makna"? Ya, oleh karena menurut Weber, hidup manusia dan
seluruh tindak-tanduknya sesungguhnyalah ditandai oleh suatu upaya pen¬acarian
makna yang terus-menerus. Tindak-tanduk serta tingkah-laku manusia senantiasa
berorientasi kepada "makna", baik disadari maupun tidak. ”Aksi” atau
"tindakan" didefinisikan oleh Weber sendiri, sebagai: "semua
tingkah-laku manusia bila dan sepanjang si pelaku (melakukannya berdasar¬kan)
makna subyektif yang diletakkannya kepada tindakan tersebut”
Dengan manisnya, Talcott Parsons memberikan defmisi sebagai berikut:
Aksi atau tindakan adalah sebuah proses di dalam sistim situasi si pelaku,
yang mempunyai makna motivasional baginya
Sebab kita berbicara mengenai tingkah-laku orang lain, maka tentu saja
analisa budaya tidak dapat tidak selalu merupakan penafsiran. Ya, tetapi ia
merupakan penafsiran tentang bagaimana si pelaku itu sendiri memberi makna
terhadap tindakannya. Ia mencari dan berusaha menjelaskan "logika"
dari tingkah-laku sosial masyarakat tertentu, melalui kebudayaan mereka
sendiri.
Mengapa kebudayaan? Sebab kebudayaan itulah yang memasok si pelaku dengan
motivasi, mendukungnya dengan norma-norma, ideal-ideal, nilai-nilai, dan
sebagainya. Pendek kata, kebudayaan itulah yang memberi makna serta legitimasi
bagi tindakan manusia, baik individual maupun sosial .
Demikianlah, tugas analisa budaya ialah: menganalisa, mensistimatisir, dan
menjabarkan pengamatan serta "penafsiran" dari "dalam" itu
sedemikian rupa, sehingga ia mampu mengungkapkan ke"normal"an logika
tingkah-laku sosial masyarakat tertentu, dengan tanpa mengurangi
ke"istimewaan"nya.
Di dalam buku ini, masyarakat tertentu itu adalah: masyarakat Indonesia.
Tentu saja, Indonesia mempunyai masalah-masalahnya sendiri. Namun demikian,
bersama-sama dengan masyarakat-masyarakat lain, khususnya dengan
masyarakat-masyarakat "bukan barat", is juga menghadapi
masalah-¬masalah pokok yang sama.
Semua masyarakat "Dunia Ketiga", pada pokoknya mempunyai tiga
masalah pokok bersama. Ketiga masalah pokok bersama itu ialah: masalah
integrasi nasional di atas pilah-pilah loyalitas yang bersifat sub-nasional,
misalnya pemilahan-pemilahan rasial, bahasa, etnis, kasta dan/atau agama;
masalah menegakkan dan mempertahankan ketertiban dan kestabilan politik; dan
masalah menciptakan atau menemukan ideologi yang tepat guna yang mampu
mempersatukan seluruh rakyat untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membangun
suatu masyarakat yang maju dan modern. Atau ringkas¬nya, ketiga masalah
itu adalah: masalah nation-building, masalah stabilitas politik, dan masalah
pembangunan ekonomi.
Masalah "nation-building” adalah masalah yang berhubungan dengan
warisan masa lampau, yaitu masalah kemajemukan budaya. Masalah
"sta¬bilitas politik" adalah masalah yang berhubungan dengan realitas
masa kini, yaitu ancaman disintegrasi. Sedang masalah "pembangunan
ekonomi" adalah masalah yang berhubungan dengan harapan masa depan, yaitu
masyarakat yang adil, makmur don modern.
Clifford Geertz memerasnya menjadi dua masalah.pokok,
Rakyat negara-negara baru secara bersama-sama telah didorong oleh dua motif
yang sekalipun berbeda, bahkan seringkali bertentangan, namun saling
tergantung. . . . Yang satu adalah . . upaya mencari identitas, tuntutan
agar identitas tersebut diakui umum sebagai sesuatu yang penting, suatu penegasan
sosial mengenai diri sendiri sebagai "sesuatu (yang tak boleh dipandang
remeh) di dunia ini".
Sedang yang lain lebih praktis: tuntutan untuk kemajuan, untuk standar
hidup yang lebih tinggi, tatanan politik yang lebih efektif, keadilan sosial
yang lebih besar, dan di atas semua itu adalah "memainkan peranan yang
lebih besar dalam gelanggang politik dunia", "mempunyai pengaruh di
antara bangsa-bangsa".
Bagi Indonesia itu berarti: masalah bagaimana mempertahankan iden¬titas
tanpa menghambat kemajuan, dan bagaimana mencapai kemajuan tanpa mengorbankan
identitas. Masalah "identitas" dan "modernitas".
Tapi identitas bukanlah sesuatu yang sekedar untuk dipertahankan.
Sesungguhnyalah, ia masih merupakan sesuatu yang mesti dicari.
Indonesia, memakai istilah Geertz, adalah sebuah "negara baru".
Baik konsep "negara" maupun "bangsa", sebenarnya adalah
fenomen-fenomen yang baru dan asing. Bahkan, tidak kurang dari Soekarno
sendiri, nasionalis besar itu, yang mengakuinya. Pada tahun 1945, is berkata,
Saja berkata dengan penuh hormat kepada kita punja radja-radja dahulu, saja
berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokro¬kusumo, bahwa
Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Prabu Siliwangi di Padjadjaran, saja berkata, bahwa keradjaannja bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa,
saja berkata, bahwa ke¬radjaannja di Banten, meskipun merdeka, bukan satu
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi
jang telah membentuk Keradjaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis jang
merdeka itu bukan nationale staat.
Yang ada ialah negara-negara. "Berapa jumlah negara-negara yang pernah
ada di Indonesia," tubs Geertz, "tidak dapat dicatat, tetapi bahwa mereka
mencapai jumlah ratusan sudahlah pasti, malah mungkin ribuan”
Tentu saja Soekarno, dan banyak ahli serta pemimpin Indonesia lainnya,
yakin bahwa di bawah Sriwijaya dan Majapahit, Indonesia adalah sebuah negara
kesatuan. Namun demikian, hal ini masih merupakan perdebatan di kalangan
ahli-ahli sejarah.
Taruh kata bahwa itu benar, yang lebih meragukan adalah apakah Indo¬mesia
di masa-masa itu memang merupakan suatu kesatuan sebagai bangsa.
Lebih amanlah untuk mengatakan, bahwa seperti adanya sekarang, Indonesia
adalah sebuah negara kesatuan yang "baru". Suatu "negara"
baru yang terdiri dari banyak "masyarakat-masyarakat" lama. Di
sinilah, nation-building merupakan masalah fundamental.
Sebagai "bangsa" dan "negara" baru, ia membutuhkan
identitas yang baru. Identitas baru yang mesti dilahirkan ini, harus
memperhitungkan dua kenyataan tersebut di atas. Bila ia hanya menekankan
kesatuan, identitas itu akan mengalami kesulitan untuk membuat rakyat mempunyai
komitmen secara emosional. Tapi bila ia terlalu menekankan kemajemukan, ia juga
akan mengalami kesulitan mengajak seluruh rakyat berkiprah bersama bagi tujuan
bersama.
Masalahnya bertambah rumit, oleh karena pada pokoknya ia juga harus mampu
mempersatukan dua unsur yang kontradiktif: unsur-unsur tradisional dan modern.
Yaitu, bahwa identitas itu, pada satu pihak, harus mampu untuk memelihara
warisan-warisan tradisional, dan pada pihak lain, sekaligus harus mampu
mendorong ke arah kemajuan dan modernisasi.
Masalah inilah yang merupakan persoalan pokok yang akan dibahas oleh buku
ini.
Apakah "masyarakat modern" itu perlu dijernihkan terlebih dahulu.
Sebab hanya apabila apa yang dimaksudkan itu telah jelas, maka kita akan dapat
mempertanyakan apakah dan sampai sejauh manakah unsur-unsur tradisional dapat
dipertahankan atau dikorbankan. Ringkasnya, sampai sejauh mana unsur-unsur
modern itu dapat "dipribumikan" dan sampai se¬jauh mana unsur
tradisional dapat "dimodernkan".
Buku ini ingin membahas bagaimana Indonesia mengatasi masalah ganda itu.
Untuk membahas apakah."masyarakat modern" itu, kits harus mulai
dengan membicarakan apakah "masyarakat" itu. Kita tidak akan memasuki
pembicaraan mengenai ini secara terlalu rinci. Cukup kiranya dikemukakan di
sini sebuah definisi kerja yang telah dirumuskan dengan amat tepat oleh
Steeman, sebagai berikut,
sebuah masyarakat dapat dipahami sebagai suatu bentuk penataan hidup yang
sedikit banyak bersifat mandiri.... Ia adalah pola hubung¬an yang tertib
(antara pribadi-pribadi yang hidup bersama-sama), yang mempunyai realitas dan
obyektivitas tertentu yang bersifat mandiri vis a vis anggota-anggota dari
kelompok yang bersangkutan.
Kemandirian yang dimiliki masyarakat terhadap anggota-anggotanya,
dijelaskan oleh Peter Berger demikian,
Tidaklah cukup . . . untuk mengatakan, bahwa masyarakat itu berakar pada
kegiatan manusia. Orang juga harus mengatakan, bahwa masyarakat adalah kegiatan
manusia yang telah mengalami "obyektivasi", artinya: masyarakat
adalah hasil kegiatan manusia yang telah mencapai status sebagai suatu realitas
obyektif. . . . Masyarakat memperhadapkan ma¬nusia dengan kenyataan yang
eksternal dan koersif (= bersifat me¬maksa). . . . Masyarakat dialami sebagai
sesuatu yang diterima di "luar sana", di luar kesadaran subyektif
manusia dan tidak dapat dikendalikan oleh kesadaran subyektif manusia itu.
Tentu saja, adanya masyarakat itu adalah untuk melayani
kebutuhan-¬kebutuhan anggota-anggotanya. Dan bahwa eksistensinya sedikit banyak
tergantung dari anggota-anggotanya. Dari sudut ini, kita dapat mengatakan bahwa
masyarakat adalah "suatu kolektivitas yang relatif bersifat swasem¬bada,
melalui mana anggota-anggotanya dapat memenuhi kebutuhan-ke¬butuhan individual
dan kolektif mereka serta seluruhnya hidup di dalam¬nya” .
Masyarakat tidak dapat ada tanpa orang-prang yang membentuknya. Tapi
sebaliknya juga benar. Orang-orang itu jugs tidak dapat hidup tanpa masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial. Untuk menjadi dirinya sendiri, ia
mem¬butuhkan orang-orang lain. Dimensi sosial ini tidak sekedar merupakan
lampiran tambahan kepada hakekat manusia, sekedar untuk tujuan-tujuan praktis.
Ia merupakan sesuatu yang inheren pads hakekat manusia itu sendiri.
"lndividu-individu itu mempunyai kepentingan terhadap masyarakat dan
keberesannya, dan oleh karena itu, secara pribadi terdorong untuk meng¬ambil
bagian dalam proses sosial.''
Kehidupan bersama yang diberikan oleh masyarakat, dan tujuan bers¬ama yang
dirumuskannya, sesungguhnyalah melampaui kepentingan-ke¬pentingan pnbadi
anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, bahkan menaklukkannya di
bawah kepentingan yang lain dan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.
Masyarakat tidak hanya membuka kemungkinan bagi anggota-anggotanya untuk
menikmati sumber-sumber orang-orang lain, tetapi juga membatasi kebebasannya.
Pertanyaan yang dapat kita kemukakan adalah, apakah yang dapat membuat
orang-orang itu secara sukarela dibatasi kebebasannya? Jawaban¬ saya dapat
diungkapkan baik secara negatif maupun positif.
Secara negatif artinya, kerelaan itu didorong oleh karena mereka
mem¬batuhkan masyarakat itu berjalan dengan baik, dan masyarakat tak dapat
berjalan dengan baik tanpa "pengorbanan" itu.
Secara positif artinya, oleh karena "pengorbanan" itu tidak saja
dianggap "perlu", tetapi juga "benar" dan "baik".
Apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerima¬an umum
oleh semua anggota masyarakat terhadap sebuah pola tingkah¬ laku yang normatif
... pola tingkah-laku yang normatif inilah yang harus kita pandang sebagai
unsur paling teras dari fenomena masyarakat sebagai sebuah struktur yang
terintegrasi.
Yang membuat mereka bersedia untuk hidup di bawah pola tingkah¬-laku yang
normatif itu, sekalipun dengan mengorbankan kebebasannya, adalah oleh karena
pola itu mereka yakini sebagai benar, baik dan perlu.
Jadi pendeknya, sebuah masyarakat dapat berfungsi hanya apabila
anggota-anggotanya' bersedia untuk mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola
tingkah-laku yang normatif. Kehidupan bersama hanya mungkin, apabila
anggota-anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti "aturan per¬mainan"
yang telah ditentukan.
Namun integrasi sosial membutuhkan lebih dari sekedar suatu "aturan
permainan". Sebuah masyarakat dapat berfungsi dengan baik, hanya apabila
ada semacam pandangan hidup bersama.
Hal ini telah kits bahas dengan ringkas di depan. Yaitu, bahwa setiap
tindakan itu, sadar maupun tidak, selalu didasari pada kesadaran tentang
"makna", yaitu "apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang
bersifat harus dan yang sekaligus dipandang cukup mulia untuk diperhatikan,
untuk me¬nuntut kesetiaan dan ketaatan kita" . Ini tidak hanya berlaku
bagi tingkah¬laku pribadi tetapi juga bagi tingkah-laku sosial.
Oleh karena itu, masyarakat tidak hanya membutuhkan integrasi-norma (yang
mengatur tingkah-laku) tetapi juga integrasi-nilai, yaitu: konsepsi bersama
tentang "pemahaman mengenai hidup, bagaimana hidup harus dijalani, serta
komitmen dasar yang menuntun di dalam organisasi kehidupan bersama.”
Ini membawa kita kepada pembicaraan tentang pentingnya kesepakatan nilai (=
value consensus) sebagai prasyarat utama bagi integrasi sosial. Ke¬sepakatan
nilai yang dimaksudkan di sini adalah, kesepakatan mengenai asumsi-asumsi yang
paling pokok, mengenai unsur-unsur yang paling men¬dasar, yaitu mengenai
nilai-nilai:
Suatu kesepakatan substansial di dalam masyarakat mengenai apa yang
seharusnya menuntun kehidupan manusia dan sedikit banyak suatu penerimaan yang
bersifat umum terhadap nilai-nilai yang terlembagakan di dalam struktur
masyarakat.
Supaya menjadi lebih jelas, kita akan meninjau masalahnya dari titik tolak
yang berlawanan, yaitu dari perspektif disintegrasi yang selalu poten¬sial di
dalam masyarakat. Di sini, masalah kita dapat dirumuskan sebagai berikut: agar
supaya masyarakat dapat berfungsi dengan baik, ia harus mampu mengatasi
disintegrasi potensial yang ada di dalam dirinya sendiri.
Sesuai dengan skema dasar dari "teori aksi" (yang tidak dapat
dibahas dengan rinci di dalam buku ini), dikatakan bahwa setiap sistim aksi
(tindak¬an) selalu mempunyai empat dimensi, yaitu: kultural, sosial, psikologis,
dan biologis . Analog dengan ini, kita dapat mengatakan bahwa ada empat potensi
bagi disintegrasi sosial, yang tak mungkin kits bahas keempat-empat¬nya dalam
kesempatan ini.
Yang pertama, adalah pada dimensi kultural. Di sini, disintegrasi sosial
berarti tidak ada atau kurangnya kesepakatan mengenai asumsi-asumsi dasar di
dalam masyarakat. Kita juga dapat menamakan fenomena ini sebagai disin¬tegrasi
nilai Nampaknya, banyak perbedaan-perbedaan primordial yang terdapat pada
negara-negara baru mencerminkan dimensi ini . Kurangnya kesepakatan dasar juga
telah mengakibatkan kurangnya kemungkinan untuk membangun suatu entitas politik
yang satu.
Yang kedua, adalah disintegrasi norma, yaitu: bila terdapat
ketidaksepakatan mengenai "aturan permainan" di dalam masyarakat,
atau apabila kelompok-kelompok di dalam masyarakat berpegang kepada
norma/aturan yang berbeda-beda.
Yang ketiga, adalah disintegrasi struktur, yang terjadi apabila terjadi
konflik mengenai siapa yang mempunyai kendali terhadap lembaga-lembaga pemgambilan
keputusan di dalam masyarakat.
Yang keempat, adalah masalah yang timbul akibat tidak adanya kesepakatan
mengenai bagaimana sumber-sumber bersama di dalam masyarakat itu
di-alokasi-kan.
Jelaslah, bahwa konflik yang meliputi semua dari keempat dimensi akan
berakibat jauh lebih parah dari pads konflik yang "sebagian". Kita
dapat mengatakan, bahwa konflik pada tingkat kultural akan mem¬punyai dampak
pada tingkat-tingkat lainnya. Konflik yang bersifat primordial, misalnya,
akan meluas ke semua komponen dan tingkat, dan dapat ber¬kembang ke arah
antagonisme menyeluruh di dalam masyarakat . Di dalam keadaan seperti ini,
kesepakatan nilai adalah mustahil. Dan oleh karenanya integrasi sosial juga
amat sulit.
Pada pokoknya, setiap upaya untuk mengendalikan masyarakat dengan
memperbaiki ekonomi dan efisiensi organisasi, tanpa memperhatikan simbol dan
nilai-nilai yang lebih dalam yang mengikat anggota-anggota masyarakat, akan
bersifat tidak kokoh/stabil. Sebab tidak mungkinlah bagi pemerintah manapun
untuk secara permanen memuaskan kebutuh¬an semua anggota masyarakat.
Lembaga-lembaga pemerintahan mem¬butuhkan komitmen dari anggota-anggota
masyarakat yang melampaui hal-hal yang kongkret tersebut, sebagai suatu
reservoir yang dapat di¬manfaatkan apabila mereka menghadapi keadaan yang
gawat. Kurang¬nya komitmen yang didasari oleh nilai-nilai bersama yang bersifat
sentral, pemerintah akan selalu diperhadapkan kepada krisis yang
terus-me¬nerus.
Pada negara-negara baru, termasuk Indonesia, kesepakatan nilai me¬rupakan
masalah yang paling serius, mengingat bahwa negara-negara ini terbentuk dari
kemajemukan masyarakat-masyarakat yang jauh lebih tua usianya.
Kesepakatan nilai menjadi masalah yang rumit, bukan saja oleh karena
warisan-warisan tradisional, melainkan juga oleh karena kerinduan untuk menjadi
modern. Masyarakat modern yang didambakan oleh negara-negara baru telah
memperhadapkan mereka dengan masalah integrasi yang jauh lebih sulit lagi.
Mengapa? Sebab, masyarakat modern, seperti yang dimengerti oleh Talcott
Parsons, mempunyai ciri pokok, yaitu meningkatnya kemampuan adaptif terhadap
lingkungannya . Peningkatan kemampuan adaptif inilah yang memang menjadi daya
tank utama dari modernitas.
Tetapi yang tak pernah boleh kita lupakan adalah, bahwa peningkatan
kemampuan adaptif selalu menuntut
peningkatan diferensiasi pada tingkat struktural. Tapi tidak ada masyarakat
yang dapat bertahan hanya dengan diferensiasi. Masyarakat memerlukan integrasi.
Kompleksitas yang semakin berkembang dari suatu sistim yang meng¬alami
diferensiasi dan peningkatan,
dengan sendirinya melahirkan per¬soalan integrasi. Secara umum, masalah ini
hanya dapat diatasi dengan memasukkan (inclusion) unit-unit, struktur-struktur,
dan mekanisme¬-mekanisme yang baru ke dalam kerangka normatif dari persekutuan
masyarakat yang bersangkutan. . . . Akhirnya, proses yang berjalan itu harus
dilengkapi dengan generalisasi nilai, bila unit yang bermacam-macam di dalam
masyarakat mau memperoleh pengabsahan (legitimasi) dan bentuk orientasi yang
memadai bagi pola aksi mereka yang baru....(Apabila) jaringan situasi yang
terstrukturkan secara sosial itu menjadi lebih rumit, maka pola nilai itu
sendiri harus diletakkan pada sebuah tingkat generalisasi yang lebih tinggi
untuk menjamin stabilitas sosial.
Sebuah masyarakat modem tidaklah sekedar merupakan seperangkat
lembaga-lembaga modern. Ia adalah bentuk integrasi yang baru bagi seluruh
masyarakat. Ia merupakan bentuk keterhubungan yang baru antara pusat dan
pinggiran masyarakat. Ia menuntut pencakupan lapisan massa ke dalam masyarakat,
dalam arti bahwa baik kelompok elit maupun massa merasa diri anggota penuh
masyarakat, dengan sedikit banyak harga diri yang sama. Ia mensyaratkan
partisipasi yang lebih besar dari massa di dalam nilai-nilai dari masyarakat,
peranan yang lebih aktif di dalam pengambilan keputusan di dalam masyarakat,
dan penghargaan yang lebih tinggi dari kacamata ke¬lompok elit.
Integrasi sosial semacam yang digambarkan di atas itulah, yang jarang
dimiliki oleh negara-negara baru.
Berbicara mengenai Indonesia, terdapatlah suatu asumsi yang umum, bahwa
baik upaya untuk mencari identitas baru maupun untuk mencapai suatu kesepakatan
nilai, telah tercapai melalui Pancasila.
Buku ini dengan segala kerendahan hati ingin menganalisa dan menilai asumsi
popular tersebut.
Untuk itu, pembahasan akan dilakukan dalam empat tahap. Pada bagian
pertama, akan disajikan semacam pengantar umum mengenai masalah serta
kemungkinan integrasi maupun disintegrasi di dalam masyarakat Indonesia.
Masalah integrasi dan disintegrasi ini akan disorot di dalam terang kesatuan
dan kepelbagaian Indonesia.
Pembahasan dalam bagian pertama ini akan menjadi semacam kerangka bagian
kedua, di mana akan dianalisa kemungkinan untuk mencapai integrasi sosial pads
tingkat nilai-nilai. Di sini, persoalan utamanya ialah: apakah memang benar
atau tidak benar, bahwa di balik kepelbagaian yang luar biasa pads tingkat
sosio-kultural, kita juga dapat melihat adanya orien¬tasi kultural dan
orientasi nilai bersama di antara mayoritas orang Indonesia, yang dapat
dijadikan dasar bagi kesepakatan nilai.
Baik bagian pertama maupun bagian kedua akan menjadi konteks bagi pemahaman
tentang Pancasila. Ini merupakan bagian yang ketiga. Pads bagian ini, kita akan
membahas pemahaman Pancasila di dalam konteks kesatuan dan kepelbagaian
Indonesia yang dibahas dalam bagian pertama. Kita juga akan berusaha
memahami Pancasila di dalam terang orientasi nilai dan budaya Indonesia yang
telah dibahas dalam bagian yang kedua.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kita tidak akan membahas Pancasila sebagai
sebuah gagasan yang terlepas dari konteks tertentu yang telah me¬lahirkannya
dan dari masalah tertentu yang dihadapinya. Kita juga tidak akan membicarakan
Pancasila seperti yang ada dalam pidato-pidato para pemimpin atau karya karya
tulis para sarjana. Artinya, kita tidak akan mem¬bicarakan Pancasila sebagai
"ideal".
Yang akan kita kerjakan adalah, kita akan berusaha memahami dan menjelaskan
Pancasila "seperti apa adanya", yaitu sebagaimana ia telah
benar-benar berfungsi di dalam masyarakat Indonesia.
Akhirnya, pemahaman Pancasila seperti tersebut di atas, yaitu Panca¬sila
"seperti apa adanya", akan kita nilai pada bagian yang keempat. Kita,
misalnya, akan mempertanyakan apakah Pancasila telah menjawab kebutuh¬an
Indonesia akan sebuah identitas yang pada satu pihak berakar pada ke¬budayaan
Indonesia, dan pada pihak lain menyajikan dasar yang kokoh bagi pembangunan
suatu masyarakat modern. Kita juga akan mempersoalkan, apakah Pancasila
merupakan dan mencerminkan perwujudan kesepakatan nilai masyarakat Indonesia.
Dan akhirnya, kita mempermasalahkan apakah Pancasila tidak hanya mengandung
nilai-nilai yang relevan secara kontekstual, tetapi juga sahih secara
universal. Bagian keempat inilah yang akan mem¬beri ciri kepada buku ini, bukan
saja sebagai sesuatu karya yang bersifat deskriptif tetapi juga suatu
penelaahan etis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar